Tuesday, January 28, 2020

Ketika Pelinggih Taksu berbeda bentuk

WeKetika pelinggih Taksu beda bentuk jgn nilai penampilannya ternyata yang di puja adalah sama

Kata “Taksu” adalah kata bahasa Bali (bukan Sanskerta atau Jawa Kuno atau Kawi) yang berarti kekuatan bathin atau kekuatan spiritual. Kekuatan di dalam diri yang memancarkan pesona, daya pukau, wibawa dan sekaligus karisma (Suhardana, 2011:157).

Palinggih Taksu adalah palinggih dari Dewi Saraswati, sakti (kekuatan) Dewa Brahma dengan bhiseka Hyang Taksu yang memiliki fungsi memberikan kekuatan spiritual atau daya magic yang menyebabkan keberhasilan semua pekerjaan dan memelihara semangat dan gairah hidup yang penuh dengan godaan (Winanti, 2009:31). 

Di tinjau dari segi bentuknya ada beberapa bentuk pelinggih taksu pada merajan/sanggah namun bentuk itu tidaklah membedakan yang di puja dan fungsinya.

Pelinggih taksu ada juga yang membuat pada halaman rumah yang di sebut pelinggih taksu Geginaan ini banyak di temukan di daerah Tabanan.Namun yang di bahas di sini bukanlah taksu pada halaman rumah melainkan taksu yang ada pada Merajan/sanggah
Adapun bentuk Palinggih Taksu pada merajan/sanggah dibedakan menjadi tiga bentuk yaitu :

Taksu Tenggeng

Taksu ini dibagi menjadi tiga bagian yaitu bagian bawah disebut Bataran, diatas bataran menggunakan sebuah tiang yang menyangga semua ruangan atau rong lengkap dengan atapnya. Dengan demikian, Taksu Tenggeng adalah palinggih yang bagian bawahnya merupakan bataran, di tengahnya sebuah tiang dan bagian atasnya sebuah ruangan yang beratap.pelinggih seperti ini masih ada di daerah Singaraja sekitaran Desa Gesing,namun seiring perkembangan jaman sudah mulai ada perubahan.

Taksu Nyangkil

Bentuknya hampir sama dengan Taksu Tenggeng. Hanya saja ruangannya terdiri dari dua ruangan (rong). Bagian bawah disebut bataran, bagian tengah disebut tiang (saka) bagian atas dua buah rong yang menyangga atap.

Taksu Agung

Bentuk bangunan Taksu Agung terdiri dari bataran di bagian bawah, di bagian tengah adalah badan bangunan, di atasnya merupakan sebuah ruangan disangga oleh sepasang Saka Anda ditutupi oleh atap bangunan. Penggunaan masing-masing palinggih Taksu ini tergantung dari latar belakang sejarah dari keluarga yang memiliki merajan tersebut. Meskipun berbeda-beda bentuknya, fungsi Taksu ini adalah sama dan yang melinggih sama juga yaitu Sang Hyang Saraswati.

Semua bentuk pelinggih taksu di pengaruhi oleh Desa kala patra,namun esensinya yg di puja tetaplah sama,tdk di pengaruhi oleh bentuk corak dan motif ukiran.
Yang utama adalah niat tulus memuja itulah dasar dari bhakti.Karena bhakti adalah rasa,sedangkan rasa berbeda pada masing masing individu.

Semoga bermanfaat
Om shanti shanti shanti om



Sumber : input Bali
Di sunting : Jmk Gde Garnida

Saturday, January 18, 2020

Pura Kanjeng Ratu Kidul Desa Guyangan Nusa Penida

"Palinggih" Nyi Roro Kidul di Pura Segara


Nusa Penida - Pura Segara Kidul yang terletak di mata air Guyangan, Dusun Antapan, Desa Batukandik. Nusa Penida, saat ini belum populer di telinga masyarakat. Padahal pura ini memiliki kaitan erat dengan cerita Asta Gangga pada Babad Nusa Penida.

Di pura yang berada di selatan Nusa Penida itu, terdapat palinggih Nyi Roro Kidul dengan nuansa khas hijau yang dipercayai menguasai wilayah laut selatan. Pura ini juga memiliki tirta yang diyakini dapat membersihkan karma masa lalu untuk dapat memperbaiki kehidupan selanjutnya.
Menurut penuturan Jero Mangku Buda, Senin (14/12), Pura Segara Kidul berkaitan erat dengan cerita Asta Gangga yang sesuai dengan cerita Babad Nusa Penida. Sumber mata air di Nusa Penida merupakan sumber kehidupan karena air sucinya (tirta) sebagai peneduh masyarakat dan alam semesta.
Di mata air Guyangan terdapat tirta pangurip yang termasuk salah satu tirta asta gangga di Nusa Penida. Sumber mata air lainnya ada di Prasi (Toyapakeh) sebagai tirta sanjiwani, tirta kamandalu (Penida, Crytalbay, Desa Sakti), tirta pawitra (Temeling, Desa Batumedeg), tirta maha pawitra (Tabuanan, Desa Sekartaji), tirta pralina (Suwehan, Watas, Desa Tanglad), tirta pasupati (Sekartaji), dan tirta pangurip (Peguyangan, Dusun Antapan, Desa Batukandik).
Di Pura Segara Kidul ada tiga palinggih yang sesuai dengan Tri Murti. Wisnu Tirta sebagai pembersih karma masa lalu, Brahma Tirta pangurip karma, dan di tengah palinggih Siwa Tirta keabadian didampingi Ibu Ratu Kanjeng welas asih dan kebijaksanaan (Roro Kidul). "Guyangan merupakan tempat berproses umat yang hidupnya maguyang atau berantakan. Dengan malukat di sana, astungkara akan menjadi lebih baik" tuturnya.

Bila ada masyarakat yang ingin mengunjungi tempat ini, Jero Mangku Buda menyarankan agar berhati-hati menuruni ratusan anak tangga menuju pura.
Sumber: Koran Bali Post, Rabu Wage 16 Desember 2015

Friday, January 17, 2020

WALAU MISKIN TETAP BANGGA MENJADI HINDU


Kemiskinan bukanlah menjadi alasan beralih kepercayaan dari Hindu, 
bukan juga menjadi halangan untuk menganut agama sesuai kepercayaan masing masing.

Agama Hindu punya lima keyakinan yg di sebut Panca sradha yaitu
1.Percaya terhadap adanya Brahman
2.Percaya terhadap adanya Atman
3.Percaya terhadap adanya Karmaphala
4.Percaya terhadap adanya Punarbhawa
5.Percaya terhadap adanya Moksa

1. Percaya terhadap adanya Brahman
Yaitu sebuah kepercayaan terhadap adanya tuhan yang maha esa hanya satu tidak ada duanya

2. Percaya terhadap adanya Atman
Yaitu sebuah kepercayaan adanya atman sang roh yang kekal dan menjiwai setiap mahluk hidup di dunia ini

3. Percaya terhadap adanya karmaphala
Yaitu sebuah kepercayaan akan hasil dari suatu perbuatan,yang baik akan menghasilkan kebaikan pula

4. Percaya terhadap adanya Punarbhawa
Yaitu sebuah kepercayaan akan kelahiran yang berulang ulang yang di sebabkan oleh karmaphala

5. Percaya terhadap adanya moksa
Yaitu sebuah kepercayaan akan adanya kebebasan dari hukum karmaphala,inilah tujuan dari Hindu.

kelima keyakinan ini menjadi dasar utama memeluk agama Hindu, bagi umat Hindu beragama merupakan hubungan bersifat pribadi dengan tuhannya, oleh karena demikian siapapun tidak boleh mencampuri urusan yg bersifat pribadi itu.

Menurut Hindu manusia terlahir ke dunia merupakan sebuah proses punarbhawa yg di sebabkan oleh karma phala, baik buruk kehidupan sekarang sangat di pengaruhi oleh karma masa kehidupan terdahulu, di takdirkan menjadi orang miskin adalah di sebabkan karma phala masa lalu, tdk usah terlalu bersedih sebaiknya harus berbangga karena sudah terlahir menjadi manusia, karena hanya manusia yang bisa menolong dirinya sendiri, inilah manusia di sebut sebagai mahluk yang utama di antara semua mahluk ciptaan tuhan.

Kesempatan terlahir menjadi manusia adalah patut di banggakan karena kesempatan ini adalah kesempatan emas yang bisa di pergunakan untuk memperbaiki kehidupan yang akan datang atau untuk mencapai moksa ( kebahagian yang kekal dan abadi).

Bukan tidak boleh mengejar kekayaan akan tetapi bagi yang kurang beruntung agar jangan merasa berkecil hati harus tetap mempunyai kebanggaan yang besar terlahir menjadi manusia dan tidak terlahir sebagai binatang atau hewan sejenisnya.

Perlu di catat terlahir menjadi manusia dalam keadaan telanjang dan ketika matipun akan berbekal kwangen, kain kasa, tanpa harta dan jabatan, teman, kerabat,  keluarga hanya mengantar sampai kuburan setelah itu yang paling setia menemani adalah Karma, maka perbanyaklah dan tabunglah karma baik walau tidak bisa menabung harta, tetap berbangga bisa berbuat baik walau tidak di hargai sekalipun, karena di sanjung tidak akan menjadi rembulan atau di hina tidak akan menjadi sampah.

Sahabat Hindu banggalah menjadi Hindu walau miskin, karena syarat mati tidak harus miskin, syarat masuk sorga juga bukan miskin asalkan jangan miskin hati.
Tetapi karmalah jembatan menuju sorga atau neraka yang tidak bisa di suap oleh siapapun juga.

Salam rahayu
Oleh : Jmk Gde Garnida

Wednesday, January 15, 2020

DOSA PERSELINGKUHAN TIDAK AKAN MAMPU DI LEBUR

Lontar aji terus tunjung merupakan sebuah lontar yg berisi nasehat berbuat baik shingga perilakunya akan menjadi panutan bagi orang orang di dunia ini.

Kegunaan dari pada ajian ini yaitu setiap orang akan di lebur dosa dosanya dan inilah salah satu cara masuk ke sorga,bisa panjang umur dan di puja oleh banyak orang.

Akan tetapi ada beberapa perbuatan yg tdk mampu di lebur oleh ajian ini walau hanya sedikit saja dosanya.

Dalam lontar Aji Terus Tunjung di sebutkan,ada tiga kelompok perbuatan yg tdk mampu di lebur oleh ajian terus tunjung yg di sebut Tri Meddhandyata yaitu

pataka adalah suatu perbuatan yg membuat wujudmu berbeda,berubah yaitu seperti orang gila karena di masuki oleh kebingungan,kekacauan pikiran yaitu tdk tahu benar salah,baik buruk,tdk kenal tata krama dan tata susila

upataka adalah adanya perasaan iri hati,dengki,dendam kepada orang lain,sampai ia ingin mengalahkan atau membunuhnya saking sakit hatinya atas perbuatan orang tsb,sehingga ia menjadi liar,ganas,jalir ,memitra (selingkuh),ingin beristri banyak dan slalu ingin menghancurkan hidup orang lain

mahapetaka adalah hal hal yg menyebabkan sakti mandraguna dapat menghilang dan bahkan ingin menyamai dewa melanggar ajaran dharma karena telah di rasuki oleh nafsu kedigjayaan,mabuk akan kesaktian,shingga akan berubah yg tidak baik di pandang baik ,yg di atas di anggap di bawahi inilah yg menyebabkan kerdil selamanya.

Ketiga kelompok perbuatan tsb tdk bisa di lebur oleh ajian terus tunjung,demikian di sebutkan dalam lontar aji terus tunjung yg di turunkan oleh Sang Hyang Licin di pengulun setra.

Oleh : Jmk Gde Nym Garnida
Sumber : salinan lontar aji terus tunjung

Sunday, January 12, 2020

ini alasan meoton mesti di lakukan menurut lontar aji terus tunjung

Meoton merupakan peringatan hari kelahiran menurut kalender caka yang di peringati setiap 6 bulan sekali, perhitungannya menggunakan pawukon dan sapta wara. Peringatan kelahiran ( meoton ) bagi orang dewasa di beberapa daerah ada yang tdk memperingati atau membuat upacara otonan sesuai Hindu, karena mereka mengganggap sdh cukup pada waktu kecil saja, oleh karena sdh menginjak dewasa mereka beranggapan upacara itu sdh tidak di perlukan lagi, hanya di peruntukan bagi anak anak saja, anggapan ini di tinjau dari segi sastra adalah sebuah kekeliruan, mungkin di sebabkan pengetahuan mereka yang kurang.

Ada banyak sastra yang mengupas masalah pawotonan di antaranya lontar dharma kahuripan, tenung wrespati kalpa, aji terus tunjung, namun yang di bahas di sini di ambil dari lontar aji terus tunjung, di mana meoton di sebutkan sebagai sebuah usaha untuk membuat umur panjang, sehingga upacara meoton sebenarnya wajib di lakukan bagi pemeluk Hindu.

...lagi ada yasa yang perlu di perbuat,yang bernama yasa panjang umur,dan juga setelah membangun yasa ini ingatlah persembahannya kepada beliau yang mana itu bagiannya adalah ,setiap datang hari kelahiranmu sepatutnya kamu menghaturkan yasa apajeg seperti daksina,suci,rayunan,pras ajuman,sodan canang lengewangi dan burat wangi,pengeresikan segehan wong wongan manca warna limang tanding,semua itu bertempat di sanggah hyang kawitan,upakara ini di haturkan kepada yang menjelma  pada dirimu yaitu yang bernama Sang Hyang Suksma Jati dan harus minum tirta yang memakai sarana bungan tunjung....

kutipan sastra ini menunjukan rasa terimakasih kepada yang telah berreinkarnasi yang di sebut sebagai SANG HYANG SUKSMA JATI, dan proses otonan di lakukan di sanggah/pemerajan.
Itulah alasan mengapa upacara otonan wajib di lakukan bagi pemeluk Hindu.

Oleh : Jmk Gde Nym Garnida
Sumber : salinan lontar aji terus tunjung      ( koleksi pribadi )

Saturday, January 11, 2020

Tata cara metirta dan mebija

Mantram dan tata cara nunas tirta dan mebija untuk meminimalisir kekeliruan
Setelah melakukan persembahyangan slalu di akhiri dgn nunas tirta ( air suci ) dan bija,yg merupakan produk paling akhir dari rangkaian semua kegiatan upacara.telah terjadi pergeseran tata cara saat nunas tirta,entah di sebabkan karena suatu kekeliruan atau apapun itu bentuknya semestinya bisa di kendalikan,yang semestinya di percikan tiga kali,meminum tiga kali,meraup tiga kali,namun dalam prakteknya cuma dipercikan dan meminum saja 3 kali,setelah itu kembali di percikan,ini agak susah memaknai maksud dan tujuannya.

Berikut diuraikan tuntunan nunas tirta dan mebija sbb :

Di percikan ke ubun ubun  tiga kali 
Om ang brahma amrta ya namah
Om ung wisnu amrta ya namah
Om mang iswara amrta ya namah

Di minum tiga kali
Om sarira paripurna ya namah
Om Ang Ung Mang sarira suddha pramantya ya namah
Om um ang samo sampurna ya namah

Di raup ke muka ( wajah ) tiga kali
Om Siwa amrta ya namah
Om Sada Siwa amrta ya namah
Om Parama Siwa amrta ya namah

Bija di dahi
Om sriyam bhawantu

Bija bawah tenggorokan
Om sukham bhwantu

Bija di telan
Om purnam bhawantu
Om ksma sampurna ya namah swaha

Di ambil dari buku sastra sanskerta karya
Dr.Putu Winanti S.Ag M.Pd ( dosen ihdn )

Semoga bermanfaat
Om shanti shanti shanti om
Oleh : Jmk Gde Nyn Garnida

Tuesday, January 7, 2020

BERYADNYA TIDAK MESTI MAHAL

Yadnya adalah korban suci yg tulus iklas,maka setelah melakukan gelaran yadnya tdk boleh ada rasa penyesalan,untuk itu perlu suatu pertimbangan matang dlm melakukan gelaran yadnya agar hasil yg ingin di capai bisa maksimal.

Keberhasilan suatu yadnya tdk diukur dari mahalnya yadnya atau besarnya yadnya,akan tetapi ada beberapa hal pokok yg di syaratkan dlm membangun suatu yadnya sehingga tingkat keberhasilan menjadi maksimal maka,beryadnya tdk perlu mahal,sesuaikan dgn kemampuan,agar terjadi keseimbangan yg akan memunculkan keharmonisan..!

Dengan tdk ada maksud merendahkan bagi yg punya harta lebih,dn juga bagi yg kurang mampu agar jgn merasa rendah diri dlm beryadnya,karena Hindu sesungguhnya mengajarkan pola hidup sederhana.

Di dlm lontar yadnya prakerti disebutkan ketika melakukan gelaran yadnya,di berikan pilihan sesuai dgn kemampuan,mulai yg terkecil sekalipun sampai yg terbesar,ini bukti Hindu mengajarkan umatnya sangat fleksibel dlm beryadnya di mana tdk ada keharusan yadnya itu harus mahal.

Di tinjau dari segi kwalitas maka yadnya di bedakan menjadi tiga yaitu
1.satwika yadnya
2.rajasika yadnya
3.tamasika yadnya

Tamasika yadnya
Yadnya dgn kwalitas paling rendah,di mana yg beryadnya tdk tahu arti dan tujuan yadnya

Rajasika yadnya
Yadnya dgn kwalitas sedang,di mana gelaran yadnya yg di lakukan dgn menonjolkan kemewahan yg bertujuan agar masyarakat yg hadir berdecak kagum

Satwika yadnya
Yadnya dgn kwalitas paling tinggi
Yadnya ini adlah yadnya yg di gelar merupakan kebalikan dari tamasika yadnya dan rajasika yadnya

Ada sebuah petuah para tetua bali 'sikutang ken ragane' adalah local genius yg mengandung suatu kebenaran dn sebuah petuah yg patut di  jadikan teladan (rule model) 🙏🙏🙏

Oleh : Jmk Gde Nym Garnida

BUNUT NYEREKENGKENG GESING tinggal kenangan

Angker dan Tertua di Bali


Bunut Ngengkeng itulah nama sebuah pohon yang berdiri kokoh di sekitar Pura Pecalang, Desa Gesing, Kecamatan Banjar, Buleleng. Pohon bunut ini diklaim sebagai pohon terbesar dan tertua di Bali yang menyimpan berbagai kegaiban serta keajaiban. Pun, selain sangat angker, penguasa pohon ini dikenal sangat bares.

 Reporter : Andiawan

Dengan kondisi tersebut, tak pelak tempat ini sering didatangi paranormal, dukun, hingga para pejabat. Apa yang membuat mereka tertarik datang ke tempat ini? Inilah hasil penelusuran wartawan TBA tentang keangkeran pohon bunut bersama pemangku pura setempat.

Bali terkenal dengan berbagai sebutan, dan memiliki getaran magis cukup tinggi. Hampir setiap hari tak luput dari ritual. Karenanya, setiap jengkal tanah menyimpan getaran gaib yang sangat kuat. Keyakinan masyarakat Hindu Bali terhadap kekuatan gaib sangat kuat. Bahkan, benda-benda tertentu seperti batu, pohon kayu, dan lainnya diyakini ada kekuatan gaib yang menunggunya. Di tempat-tempat itu pula masyarakat sering memohon sesuatu anugerah, baik keselamatan, rejeki, kelancaran usaha, dan permohonan lainnya.

Demikian halnya pohon bunut di Dusun Gesing I, Desa Gesing, Kecamatan Banjar, Buleleng, diyakini menyimpan kekuatan gaib penuh dengan berbagai misteri yang sulit dicerna akal sehat. Karena dari tempat ini sering muncul berbagai kegaiban dan keajaiban.

Pohon ini dikenal sebagai pohon tertua dan terbesar di Bali. Pohon ini sangat disakralkan dan tak satu pun yang berani mengusik keberadaannya. Konon, saat penyingkiranpernah dijadikan tempat persembunyian para pejuang.

Penguasanya terkenal bares (murah hati). Banyak krama yang dengan tulus dan keyakinan tinggi, dikabulkan permohonannya. Tak heran, setiap piodalan banyak yang membayar kaulsebagai ungkapan terima kasih atas apa yang telah diterimanya. Pohon ini mampu menampung hingga ratusan orang.

Seperti diungkapkan Jro Mangku Wayan Weda, pemangku Pura Pecalang, keberadaan pohon bunut tersebut usianya diperkirakan mencapai 3 abad lebih. Konon, pada waktu jumlah penduduk Desa Gesing masih sedikit, dan setiap para penglingsirnya akan pergi ke hutan untuk berbagai tujuan, terlebih dahulu selalu ngaturang bakti di tempat ini, nunas keselamatan agar terhindar dari serangan binatang buas.

Kocap, dumun pada saat itu banyak terdapat binatang buas, seperti babi hutan, macan, dan binatang buas lainnya. Agar terhindar dari serangan binatang buas itu, penglingsir, selalu ngaturang bakti di palinggih yang kini diberi nama Pura Pecalang tersebut,” ujar Jro Mangku menjelaskan.

Pria kelahiran tahun 1930 ini lebih lanjut mengatakan, kebiasaan ngaturang bakti di palinggih itu telah berjalan secara turun-temurun. Namun, dalam waktu sekian lama tidak ada yang memperhatikan kondisi palinggih tersebut, selama berabad-abad tetap berupa palinggih dengan kondisi sangat sederhana.

Seiring perkembangan zaman, masyarakat mulai sadar dan tergugah untuk merenovasipalinggih yang ada dengan palinggih yang lebih bagus. Kemudian para manggala desa membentuk panitia pembangunan dan berdirilah pura tersebut. Sesuai fungsinya sebagai tempat memohon perlindungan,kemudian palinggih tersebut diberi nama Pura Pecalang dan disungsung semua masyarakat Desa Gesing. Piodalannya jatuh setiap enam bulan sekali, tepatnya pada Anggarakasih Prangbakat.

Di areal Pura Pecalang juga terdapat sebuah Padmasana yang disebut Pura Perjuangan. Pura ini dijaga dua ekor macan yang diwujudkan dengan dua buah patung macan yang cukup menyeramkan.

Untuk mencapai lokasi sangatlah mudah, karena di sepanjang perjalanan telah terpasang papan petunjuk menuju Desa Gesing. Apabila krama datang dari Denpasar, sesampainya di pertigaan Desa Wanagiri, krama mengambil arah ke kiri menuju ke Desa Banyuatis.

Sepanjang perjalanan, krama dapat menyaksikan indahnya panorama alam serta dapat menghirup udara segar dan sejuk. Ketika memasuki Desa Munduk, pamedek dapat melihat hamparan kebun cengkeh serta indahnya pemandangan kota dan laut Singaraja.

Tetapi sebelumnya, krama perlu mempersiapkan kondisi badan maupun kondisi kendaraannya. Karena selama perjalanan akan melewati tanjakan dan turunan disertai tikungan yang cukup tajam. Begitu memasuki Desa Gesing, krama perlu ekstra hati-hati. Pasalnya, kondisi jalannya sedikit rusak, dengan tanjakan cukup tajam. Sedikit saja lengah, bisa terperosok dan menjadi santapan jurang.

Sebelum datang ke lokasi, sebaiknya krama menghubungi pemangku pura setempat yang tinggal tak jauh dari lokasi pura. Hal tersebut selain demi keselamatan juga untuk mengetahui lebih jauh tentang keberadaan pura dan pohon bunut tersebut. Sesuai namanya, pohon bunut ini berbentuk piramid. Akarnya yang begitu besar dan kuat mencengkram tanah, membuat pohon ini tumbuh subur hingga mencapai ketinggian ratusan meter.

Dilarang Masuk Sembarangan

Guna mengetahui secara langsung situasi di dalam pohon tersebut, kemudin ayah satu orang putra ini mengajak wartawan TBA masuk ke dalam pohon bunut melewati pintu khusus yang cukup sempit. Namun, sebelumnya tak lupa memohon izin kepada penguasa pohon tersebut dengan melakukan persembahyangan di Pura Pecalang. Sesampainya di dalam, kami merasakan getaran gaib cukup kuat seakan gerak dan langkah kami selalu diawasi, sehingga sempat membuat bulu kuduk merinding.

Sesuai pengamatan TBA, tempat ini kondisinya cukup menyeramkan serta menyimpan getaran gaib sangat kuat. Sehingga bagi mereka yang senang meditasi, kurang lengkap rasanya jika belum pernah datang mencoba dan mengetahui secara langsung kondisi tempat ini serta merasakan sejauh mana kekuatan getaran gaibnya.

Konon, saat melawan penjajah tempat ini sering digunakan para pejuang sebagai tempat persembunyian. Pengamatan TBA, memang tempat ini sangat strategis sebagai tempat persembunyian. Pasalnya, selain orang yang bersembunyi di dalam pohon ini tidak kelihatan dari luar, juga pohon ini mampu menampung hingga tiga ratus orang lebih.

“Tiang sarankan kepada krama yang ingin masuk ke dalam pohon ini, agar sebelumnya tak lupa ngaturang bakti dan rarapan untukmemohon izin. Sehingga tidak diganggu makhluk gaib penjaga pohon ini.,” tegas pria berjenggot lebat dan telah memutih ini.

Keangkeran dan kekuatan gaib tempat ini sudah tersohor hingga ke Mancanegara. Karena tempat ini sering kali didatangi tamu asing dari berbagai Negara terutama mereka yang bergelut di bidang spiritual.

Dumun ada tiga orang tamu asing, masuk dan mungkin tanpa permisi, ketiganya terjebak di dalam, bisa masuk tetapi tidak tahu jalan keluar. Setelah tamu itu berteriak, salah satu warga mencari tiang. Kemudian tiang memohon agar ketiga tamu itu dimaafkan dan diberi jalan untuk keluar dari tempat tersebut,” ungkap Jro Mangku yang dikenal mahir bela diri ini dengan nada datar.

Yang datang ke tempat ini tidak saja masyarakat Desa Gesing, melainkan banyak krama luar dari berbagai daerah, profesi dan status ekonomi yang berbeda serta dengan tujuan tertentu. Terutama saat Pilkada, banyak calon-calon kandidat datang ke tempat ini, berharap bisa terpilih. Bagi mereka ayang memohon di tempat ini dan apabila Ida Bhatara mengijinkan, maka berhasil atau tidaknya akan langsung mendapat jawaban lewat Jro Mangku.

Banyak dari mereka yang terkabul permohonannya serta mereka biasanya nawur sesangi (membayar kaul-red) saat piodalan berupa kain, tedung, hingga babi guling.

Kajeng Kliwon

Terdengar Suara Naga Misterius

Sementara, Ketut Lina salah satu warga yang sempat dimintai keterangan mengatakan, pohon bunut ini sering didatangi paranormal dari berbgai daerah di Bali bahkan luar Bali. Sebagian besar dari mereka meyakini tempat ini dijaga berbagai makhluk gaib.

Menurut pengakuan beberapa paranormal yang pernah bersemadi di sini mengungkapkan, di sekitar pohon ini banyak terdapat benda-benda gaib berkualitas tinggi. Karenanya, pohon ini dijaga ketat makhluk gaib dari berbagai arah.

Di bagian bawah pohon, dijaga makhluk kecil tidak memakai baju dan jumlahnya ratusan. Di bagian tengah dijaga makhluk tinggi besar dan seekor naga, sedangkan di bagian atas dijaga makhluk gaib berupa burung raksasa sangat menyeramkan.

Lebih lanjut pria kelahiran tahun 1949 ini mengungkapkan, salah satu ancangan berupa naga niskala sering mengeluarkan suara gaib, terutama pada hari-hari rerahinan tertentu, seperti Kajeng Kliwon, Purnama, Tilem dan hari rerahinan lainnya.

Namun, tak semua mampu mendengar suara gaib itu. Melainkan, hanya orang-orang tertentu yang memiliki kelebihan di bidang itu yang mampu medengar suara dan melihat makhluk gaib penghuni pohon yang dikenal sangat angker itu. Ada sebuah keunikan di tempat ini, di mana ranting akar yang telah tua akan dengan sendirinya putus dan potongannya menyerupai seekor ular.

“Dulu, pernah salah satu warga naik memasang pindekan (baling-baling dari kayu) dan menggunakan bambu bekas, tiba-tiba terdengar suara menggelegar sangat keras, seperti petir sedang menyambar pohon. Tak hayal pindekanitu hancur berkeping-keping,” ungkap ayah dua orang putra ini serius.

Thursday, January 2, 2020

ARTI DAN MAKNA CARU

Caru Adalah Memaknai Ruang dan Waktu

Setiap upacara agama yang berdasarkan Veda selalu ada lima unsur yang memvisualkan nilai-nilai suci upacara agama Hindu. Lima unsur tersebut adalah Mantra, Tantra, Yantra, Yadnya dan Yoga. Yantra itu berasal dari bahasa Sanskerta yang artinya alat atau sarana dalam bentuk simbol.
Yantra dalam upacara agama Hindu di Bali disebut banten atau upakara. Banten inilah yang menggunakan sarana tumbuh-tumbuhan dan hewan di samping unsur unsur panca maha bhuta lainya.
Dalam Lontar Yadnya Prakerti disebutkan, sebagai berikut, " ..... Sehananing bebanten pinaka raganta twi, pinaka warna rupaning Ida Bhatara, pinaka Andha Bhuwana." Artinya, semua bebanten adalah lambang dirimu sendiri, lambang kemahakuasaan Tuhan dan lambang isi alam semesta. Berdasarkan uraian Lontar Yadnya Prakerti ini banten memiliki tiga makna. Banten bermakna sebagai simbol manusia, baik lahir maupun batin, bermakna untuk melambangkan berbagai wujud kemahakuasaan Tuhan dan banten juga melambangkan keberadaan isi alam semesta ini berupa planet-planet isi ruang angkasa.
Caru Artinya Cantik


Dalam kitab Samhita Swara disebutkan, arti kata caru adalah cantik atau harmonis. Mengapa upacara Butha Yadnya itu disebut caru. Hal itu disebabkan salah satu tujuan Butha Yadnya adalah untuk mengharmoniskan hubungan manusia dengan alam lingkunganya. Dalam kitab Sarasamuscaya 135 disebutkan, bahwa untuk menjamin terwujudnya tujuan hidup mendapatkan Dharma, Artha, Kama dan Moksha, terlebih dahulu harus melakukan Butha Hita. Butha Hita artinya menyejahtrakan alam lingkungan.
Untuk melakukan Butha Hita, itu dengan cara melakukan Butha Yadnya. Hakekat Butha Yadnya itu adalah menjaga keharmonisan alam agar alam itu tetap sejahtra. Alam yang sejahtera itu artinya alam yang cantik. ButhaYadnya pada hakekatnya merawat lima unsur alam yang disebut panca maha butha (tanah, air, api, udara dan ether). Kalau kelima unsur alam itu berfungsi secara alami, maka dari kelima unsur itulah lahir tumbuh-tumbuhan. Tumbuh-tumbuhan itulah sebagai bahan dasar makanan hewan dan manusia. Kalau keharmonisan kelima unsur alam itu terganggu maka fungsinya pun juga akan terganggu.
Dalam Bhagawadgita III.14 disebutkan tentang proses berkembangnya makhluk hidup dari makanan. Dari hujan datangnya makanan. Hujan itu datang dari Yadnya. yadnya itu adalah Karma. Dalam Bhagawadgita ini memang disebutkan hanya hujan. Namun dalam proses menumbuhkan tumbuh-tumbuhan tidaklah hanya hujan saja yang dapat melahirkan tumbuh-tumbuhan. Kelima unsur alam tersebut juga berfungsi menumbuhkan tumbuh-tumbuhan.

Tanah, api (matahari), udara dan ether juga berfungsi untuk menumbuhkan tumbuh-tumbuhan. Peredaran kelima unsur alam itu melahirkan iklim serta siang dan malam. Karena itu upacara mecaru itu berfungsi untuk menanamkan nilai-nilai spiritual kepada umat manusia agar memiliki wawasan kesemestaan alam.
Hubungan antara manusia dengan alam haruslah berdasarkan konsep Cakra Yadnya sebagaimana ditegaskan dalam kitab Bhagawadgita III.16. ini artinya antara alam dan manusia harus menjaga kehidupan yang saling memelihara berdasarkan Yadnya. Keberadaan alam ini karena Yadnya dari Tuhan. Karena itu manusia berutang moral pada Tuhan dan alam secara langsung. Utang moral itulah yang disebut rina dalam kitab Manawa Dharmasastra. Dalam Yajurveda XXXX.l disebutkan bahwa Tuhan itu berstana pada alam yang bergerak atau tidak bergerak (Isavasyam Idam Jagat). Ini artinya alam itu adalah badan raga dari Tuhan. Karena itu upacara mecaru itu berarti suatu kewajiban merawat badan raga Tuhan dalam wujud merawat alam.
Di dalam kitab Manawa Dharmasastra V.40 disebutkan, tujuan digunakan tumbuh tumbuhan dan, hewan tertentu sebagai sarana upacara yadnya adalah sebagai upaya dan doa agar semua makhluk hidup tersebut meningkat kualitas dan kuantitasnya pada kelahiran yang akan datang.
Akan menjadi tidak cantik kalau penggunaan tumbuh-tumbuhan dan hewan tersebut hanya mentok di tingkat upacara semata. Tujuan hakiki dari upacara mecaru itu adalah pelestarian alam dengan eko sistemnya. Dari alam yang lestari itu manusia mendapatkan sumber kehidupan. Jadinya hakekat Butha yadnya itu adalah mecaru untuk membangun kecantikan alam lingkungan sebagai sumber kehidupan semua makhluk ciptaan Tuhan. Dan sudut pandang upacara; caru itu adalah salah satu jenis upacara Butha Yadnya.
Kalau Banten Butha Yadnya itu masih menggunakan nasi dengan lauknya bawang jahe belum menggunakan hewan itu disebut Segehan. Segehan itu pun banyak jenisnya. Ada segehan Nasi Sasah, ada Segehan Nasi Kepel, Segehan Nasi Wong-Wongan, ada Segehan Naga dan sebagainya. Kalau banten Butha Yadnya itu sudah menggunakan ayam, banten itulah yang disebut Caru. Ada Caru Eka Sata, Panca Sata, Panca Sanak, Panca Kelud. Balik Sumpah.
Menurut Lontar Dang Dang Bang Bungalan, kalau banten Butha Yadnya itu sudah menggunakan binatang kerbau tidak lagi ia disebut banten Caru. Banten itu sudah bernama Banten Tawur. Misalnya Tawur Agung sudah menggunakan binatang kerbau seekor. Umumnya dipergunakan untuk Tawur Kesanga setiap menyambut tahun baru Saka. Kalau ditambah lagi dengan tiga ekor kerbau disebut Mesapuh Agung, ditambah lagi dengan lima ekor kerbau. Demikian antara lain disebutkan dalam Lontar Dang Dang Bang Bungalan. Namun pada hakekatnya semuanya itu tujuannya adalah mecaru mewujudkan keharmonisan sistem alam semesta.

Dengan Caru Mengatasi Bhutakala


Bhuta Kala umumnya dibayangkan sebagai suatu makhluk ajaib yang berwajah serem menakutkan. Mulutnya lebar, bertaring panjang, mata merah mendelik, rambut tergerai tanpa aturan, perut gendut dengan sikap garang. Keadaan itu sering diwujudkan dengan ogoh-ogoh menjelang Nyepi. Penggambaran Bhuta Kala itu sangatlah wajar sebagai imajinasi para seniman dan rohaniawan. Karena kalau manusia. tidak harmonis dengan Bhuta Kala perasaan ngeri seperti melihat Bhuta Kala yang digambarkan di atas. Dalam bahasa sehari-hari di kalangan umat Hindu terutama di Bali ada istilah mecaru untuk nyomia Bhuta Kala. Upacara nyomia Bhuta Kala artinya mengubah sifat ganas Bhuta Kala menjadi bersifat lembut membantu manusia untuk mengembangkan perbuatan baik.
Jadi hakekat upacara mecaru itu adalah memotivasi spiritual agar selalu berbuat mengubah sifat ganas menjadi lembut tentang keberadaan Bhuta Kala itu. Dengan demikian terjadilah suatu hubungan yang harmonis antara manusia dengan Bhuta Kala, Keharmonisan itulah tujuan dari upacara mecaru itu.
Bhuta Kala yang digambarkan itu tidak lain dari pada sifat-sifat alam kita ini. Manusia hidup bersama alam bahkan jasmani manusia juga disebut alam kecil atau Bhuwana Alit. Sifat alam kadang-kadang sebagai sahabat manusia kadang-kadang sebagai musuh manusia. Api dan air bisa menjadi sahabat dan membantu kehidupan manusia. Bisa juga menjadi musuh manusia seperti menimbulkan kebakaran, banjir dan lainnya. Agar alam itu selalu dapat bersahabat dengan manusia, yang harus aktif membangun persahabatan itu adalah manusia itu sendiri. Persahabatan dengan alam itu dapat dilakukan dengan cara sekala atau nyata dan dengan cara niskala atau dengan cara kerokhanian. Upacara mecaru adalah membangun persahabatan dengan alam dengan cara niskala. Cara niskala ini harus seimbang dengan cara sekala. Dengan demikian Bhuta Kala itu akan selalu menjadi sahabat membantu kehidupan manusia.
Dari sudut arti kata, Bhuta Kala berasal dari kata Bhuta yang artinya unsur-unsur alam kita ini. Bhuta dibangun oleh lima elemen yang disebut Panca Maha Bhuta, yaitu unsur tanah, air, api, udara dan ether. Lima unsur itulah yang membangun alam ini seperti planet-planet yang bertebaran di kolong langit ini. Planet-planet yang paling dekat dengan kita adalah bumi, bulan dan matahari. Perputaran planet-planet itu menimbulkan waktu dan musim. Waktu dalam bahasa Sanskerta adalah Kala. Bhuta Kala arti sebenarnya adalah Ruang dan Waktu. Manusia hidup dalam suatu ruang dan waktu tertentu. Tidak ada manusia hidup tidak berada pada ruang dan waktu tertentu itu. Ruang dan wakru itu dapat menjadi sahabat manusia dapat pula menjadi musuh yang menyusahkan manusia. Dalam persahabatan ini manusialah yang semestinya aktif menjalin persahabatan dengan ruang dan waktu itu. Untuk itu manusia hendaknya memahami peredaran ruang dan waktu itu dan segala potensi yang dikandung dalam peredaran tersebut. Dengan caru itu berarti kita dapat memanfaatkan secara positif ruang dan waktu atau Bhuta Kala, sehingga Bhuta Kala tidak lagi mengerikan.
Mengapa caru Menggunakan Binatang
Banten Bhuta Yadnya yang disebut caru selalu menggunakan binatang kurban. Penggunaan binatang ini sangat menentukan nama dan tingkatan banten caru tersebut. Misalnya caru Eka Sata menggunakan ayam brumbun atau lima warna. Caru Panca Sata menggunakan lima ekor ayam.
Demikian seterusnya. Pemakaian binatang dan tumbuh-tumbuhan sebagai sarana upacara Yadnya telah disebutkan dalam Manawa Dharmasastra V.40. Tumbuh-tumbuhan dan binatang yang digunakan sebagai sarana upacara Yadnya itu akan meningkat kualitasnya dalam penjelmaan berikutnya. Manusia yang memberikan kesempatan kepada tumbuh-tumbuhan dan hewan tersebut juga akan mendapatkan pahala yang utama. Karena setiap perbuatan yang membuat orang lain termasuk sarwa prani meningkat kualitasnya adalah perbuatan yang sangat mulia. Perbuatan itu akan membawa orang melangkah semakin dekat dengan Tuhan. Karena itu penggunaan binatang sebagai sarana pokok upacara banten caru bertujuan untuk meningkatkan sifat-sifat kebinatangan atau keraksasaan menuju sifat-sifat kemanusiaan terus meningkat menuju kesifat-sifat kedewaan.

Source: Drs. I Ketut Wiana, M.Ag l hokanila.brinkster.net

MAKNA UPACARA BAYUH OTON

Makna upacara bayuh oton

Oleh ; Jmk Gde Nyoman Garnida

Bayuh oton adalah upacara yang diyakini dapat menetralisir derita bawaan akibat dari karma wasana (singgih wikarman).Di daerah bali utara(buleleng) bayuh oton lebih di kenal dgn upacara "metubah" berasal dari kata "metu" dan "ubah"di mana metu = lahir,ubah =  merubah,bermakna merubah pengaruh negatif kelahiran dgn upacara yadnya.
Bayuh oton dilaksanakan tepat pada hari kelahiran sang meoton/mebayuh berdasarkan wuku dan wewaran, kemudian Upakara yang dipergunakan disesuaikan dengan wuku dan wewaran atau hari kelahiran sang mebayuh, setiap wuku dan wewaran memiliki jenis Upakara yang berbeda sehingga akan ada perbedaan jenis banten dan tempat pelaksanaan sesuai dengan hari kelahiran
      Sebelum melakukan upacara bayuh oton,perlu di lakukan pewacakan.
Pewacakan berasal dari kata waca,yg artinya membaca sastra/tenung tentang sifat bawaan menurut hari kelahiran baik itu yang mencakupi wuku dan wewaran,hal ini biasanya dilakukan oleh Ida Pandita/ Sang Sulinggih/pemangku,ini berfungsi sebagai pemahaman watak dan karakter serta hal-hal yg baik atau tidak dilakukan dimasa mendatang oleh sang mebayuh,dalam menjalani kehidupan.
      Fungsi Upacara Bayuh Oton. 
Bayuh oton memiliki fungsi sebagai penyucian diri, baik secara jasmani maupun rohani karena setiap kelahiran manusia,slalu di ikuti unsur-unsur magis khususnya terhadap unsur-unsur negatif kejiwaan dari manusia sendiri (karma)

      Di dalam upacara bayuh oton,ada banten penebusan, atau juga sering disebut dengan nebusin yang berarti menebus. Sehingga sangat jelas bahwasanya bayuh oton merupakan sarana untuk membayar hutang (naurin)yang dibayarkan atau ditebus dengan sarana upakara dalam hal ini adalah hutang-hutang pada kelahiran sang mebayuh oton .oleh karena ada utang,yg mesti di bayar shingga upacara bayuh oton sebenarnya wajib di laksanakan (ida sinuhun bongkasa). Maoton/Otonan merupakan peringatan terhadap hari kelahiran berdasarkan wuku dan ucapan terimakasih kepada Hyang Guru dan leluhur karena diberikan kehidupan/kelahiran yang merupakan kesempatan untuk memperbaiki kehidupan untuk mencapai moksa.
Oleh : Jmk Gde Nym Garnida

Sumber sastra
Bayuh oton (I Gede Sugata Yadnya Manuaba)                                              
Bayuh oton (I Nyoman Singgih Wikarman) 
Tenung Wrespati Kalpa ( I Made Bija Arya Bang Pinatih)

BABAD BENDESA MANIK MAS

Terjemahan Babad Bendesa Manik Mas

Ya Tuhan semoga hamba tiada mendapatkan halangan.

Ya Tuhan yang berwujud dewa Surya yang hamba hormati, lahir bathin mendapatkan kesucian, dunia menjadi selamat, demikian juga keturunan hamba mendapatkan kebahagiaan. Ya Tuhan, anugrahilah kami ketenangan, demikian juga agar para dewi memberikan anugrah, hamba memuja Tuhan, dan semuanya agar mendapatkan anugrah.

Ya Tuhan, maafkanlah hamba, utamanya kepada paduka Danghyang, Beliau yang mengadakan hamba semuanya, semoga kami tiada mendapatkan kutukan, terhindar dari mala pataka.

011914_0348_BabadBendes1.jpg

Ya Tuhan, semoga kami selamat, permohonan maaf hamba kepada Hyang Trayo Dasa Saksi, terutama bintang bersinar cemerlang, sekarang hamba akan menceritrakan, seluruh keturunan I Gde Bandesa Mas, yang tinggal di Jembrana, di Banjar Wani Tegeh, asalnya dari Majapahit, ada keturunannya yang tinggal di Pujungan, namanya I Gde Tobya, hana di Bratan, bernama I Gde Jagra, mendapatkan anugrah utama oleh Ida Ayu Swabhawa, yang berstana di Pulaki, yang disungsung oleh orang Sumedang (orang halus), serta telah memahami tentang ajaran Dasa Sirna (kelepasan), keluarga yang ada di desa Pujungan, yang ada di Bratan, bagaikan Brahmana Pendeta suci, serta banyak mempunyai keturunan, diberikan mantra yang utama, seperti : Canting Mas, Siwer Mas, Weda Sulambanggeni, Pasupati Rancana, semuanya itu dijadikan pegangan oleh I Gde Bandesa Mas, termasuk semua keturunannya, yang sekarang berada di pulau Bali, adalah anugrah beliau Bhatara di Pulaki, terutama beliau Danghyang Dwijendra, yang dipuja di sana, semoga yang memegang Wre Sastra ini, seketurunan I Gde Bandesa Mas, mendapatkan kebahagiaan di mana mereka berada, mendapatkan keselamatan, terhindar dari semua bahaya, berhasil dan berkembang mereka, demikian juga berkembang dalam keluarganya, tiada mendapatkan halangan, jika ada keturunannya I Gde Bandesa Mas, paham terhadap sastra ini dan dapat melaksanakannya, jika ada yang lupa kepada Kawitan dan kurang percaya terhadap sastra ini : “Semoga engkau semua, seketurunan I Gde Bandesa Mas, tidak mendapatkan keselamatan, seperjalanan hidupnya bagaikan orang gila, sakit-sakitan, selalu mendapatkan rintangan, tak henti-hentinya tertipa penyakit, hancur keluarganya, retak bersaudara, demikian isi bhisamanya, demikianlah sabda Beliau kepada Sira Mpu Mas”.

Sekarang diceritrakan perjalanan beliau Danghyang Dwijendra ke Gelgel, bersama dengan Ki Gde Bandesa Mas, untuk menghadap Ida Dalem, tak terceritrakan perjalanan beliau Danghyang Dwijendra.

Diceritrakan beliau Ida Ayu Swabhawa, berada tidur/menginap di Jembrana di Banjar Wani Tegeh, di rumah Ki Gde Bandesa Mas, karena lama beliau ditinggal oleh ayahnya, di sana beliau bingung, yang diemban oleh keluarga Ki Gde Bandesa Mas, saat itu beliau mendapatkan kadurmanggalan (bahaya). Lalu beliau menyebutkan, daerah di sebelah utara Rambutsiwi, yang berpenduduk semuanya 8000, dipralina/dilebut semuanya, beliau yang memimpin di sana, beliau berwujud niskala dan beliau berstana di Pura Pulaki, yang disungsung oleh orang yang tidak kelihatan (orang-orang halus), yang dipralina oleh beliau, disebut Wong Sumedang. Oleh karena amat hormatnya keturunan I Gde Bandesa Mas, kepada Ida Ayu Swabhawa, serta memohon kehadapan beliau, tidak melanjutkan kemarahannya, agar mau menunggu kedatangan Danghyang Dwijendra dari Gelgel, Ida Ayu tiada berkenan, tetapi beliau memberikan anugrah sastra utama, seperti :

merupakan pegangan hidup mati, namanya Canting Mas, Siwer Mas, luar biasa utamanya hakekat sastra itu,                , bagi yang memegang/memahami sastra ini menjadi keheran-heranan, seketurunan Ki Gde Bandesa Mas, demikian juga termasuk semua keturunannya, jhah tasmat, semoga demikian, mendapatkan keselamatan, sehat tidak mendapatkan penyakit dari ilmu-ilmu hitam, semua bentuk halangan musnah olehnya, oleh kekuatan sastra seperti tersebut di atas, semuanya disucikan oleh kesaktian ilmu tersebut, yakni Sanghyang Sastra ini; mampu menguasai mantra dan melaksanakannya, seperti : ada yang disebut Wresastra, itu yang akan menjadi bahasa, ada yang disebut Mudra, untuk menuju kalepasan, ada Swalalita yang menjadi mantra hidup, demikian halnya, itu 20 (dua puluh jumlahnya), itulah asal mula sastra yang dianugrahi oleh beliau Ida Ayu Swabhawa.

Demikianlah bhisama/pesan beliau Ida Ayu Swabhawa, diamkanlah sebentar keadaan Ida Ayu Swabhawa.

Sekarang marilah ceritrakan keturunan I Gde Bandesa Mas, sekarang hamba akan menceritrakan keberadaan Ki Gde Bandesa Mas, setelah berada di Baliaga, ada keturunan beliau beserta sanak saudaranya, Mas Sepuh, Mas Wilis, Mas Mega, beliau bertempat tinggal di daerah kekuasaan Maharaja Mangu, beliau ini berkuasa di Blambangan, ada keturunan beliau di pulau Jawa, beliau itulah yang menggantikannya, Si Tan Kober bertempat tinggal di desa Mas, Si Tan Kawur di desa Gobleg, Si Tan Mundur di desa Gadhingwani, beliau itu keturunan Wang Bang namanya, Satria Pasuruhan yang datang ke Bali, beliau Mas Ireng, Mas Warna, tetap tinggal di pulau Jawa.

Marilah ceritrakan keadaan di Swecalinggapura, yakni Ida Dalem yang memerintah di pulau Bali Tengah, ketika itu beliau keluar menuju balai persidangan, berpakaian kebesaran, bagaikan penjelmaan Wisnu beliau Sri Kapakisan, beliau berdiri, berprilaku yang amat sempurna, sebagai pertanda ksatria utama, anyungklit keris dan menganugrahkan gading (taring gajah) kepada Mpu Mas, kepenuhan mas permata yang utama, Kelihan Mas ada di belakang beliau Sri Aji Kresna Kapakisan, lengkap dengan para punggawa, manca dan parajuru yang lainnya dan para Mpu, Danghyang Siwa Buddha Bhujangga, bercakap-cakaplah beliau, yakni prihal yang dibicarakan dalam rapat, dulu ada utusan beliau Sri Kresna Kapakisam, untuk menyerang pulau Jawa, yakni Aji Pasuruhan, dan utusan beliau sudah berangkat ke pulau Jawa, mereka itu adalah pemuka-pemuka Bali Madya, beliau Arya Kutawaringin, Arya Mangori,, Arya Dalancang, Arya Budha, utamanya Sira Arya Pinatih. Beliau Arya Ularan, ada juga pangabih/pembantu beliau, Sira Pangeran Gde Bandesa Mas, demikian juga Pangeran Pasek Gelgel, dari dahulu mereka itulah para Tri Manggala Yuddha Sri Aji Kresna Kapakisan, mereka itu datang ke Baliaga, merupakan prajurit Majapahit, maka itulah mereka tidak menolak untuk menghadap Sri Kresna Kapaikisan penguasa Swecalinggarsapura.

Tersebut datanglah Patih Ularan, termasuk ke dua Pangeran itu I Gde Bandesa, I Gde Pasek Gelgel, beserta dengan para prajurit-prajuritnya, setelah menyerang Pasuruhan, semua daerah dan rakyatnya telah dikuasai/dikalahkan, banyak rakyatnya yang mati yakni orang-orang Pasuruhan yang terlibat dalam peperangan, tida terhingga kehebatan perang itu, bagaikan laron yang jatuh ke api, diterbangkan angin dan banyak lagi, itulah yang disampaikan kepada Sri Kresna Kapakisan, lengkap dengan harta benda yang utama, dipersembahkan kepada Sri Aji Bali, itu semua merupakan ciri kemenangan. Lalu beliau memperhatikan semua yang datang menghadap, yakni : Rakryan Ularan, Pangeran Gde Bandesa Mas dan Pangeran Pasek Gelgel. Ketika itu Arya Ularan dan Pangeran Ki Gde Bandesa Mas, berkata : “Ya Tuanku Sri Aji, kami telah berhasil sesuai dengan perintah Tuanku, mengalahkan daerah Pasuruhan dan termasuk para penguasanya, terutama Sang Raja telah hamba potong kepalanya raja Pasuruhan dan berhasil menguasai daerahnya, telah berhasil kami kalahkan para penguasa itu yakni Sri Aji Pasuruhan, lalu dilanjutkan oleh Pangeran I Gde Bandesa Mas, daulat Tuanku Sri Aji Bali, hamba telah berhasil memotong pucak gelung korinya Sri Aji Pasuruhan, pucak gopura istana Kakak Tuanku Sri Aji Pasuruhan itu penuh dengan hiasan mas permata, semuanya itu telah hamba ambil, sebagai pertanda kemenangan”, demikianlah atur dari Pangeran Ularan dan Pangeran I Gede Bandesa Mas. Terdiamlah Sri Aji Kresna Kapakisan, bagaikan kejatuhan gunung rasanya, mendengarkan atur orang yang datang itu, menyala-nyala matanya, bagaikan api yang berkobar, luar biasa marah beliau, lalu turun dari Bale Persidangan (Bale Gajah), diam juga, lalu beliau masuk ke dalam Gedong Puri dan menutup pintu, lalu beliau bersabda dari dalam Gedong. “Ai engkau Ularan, ada bhisamaku padamu, mulai saat ini engkau tidak boleh bertemu dan menghadap padaku, karena dosamu luar biasa, yakni membunuh kakakku Sri Aji Pasuruhan, tetapi ada anugrahku padamu, rakyat 200, sawah tegal winih 200, namun pergilah kamu sekarang ini, namun aku memberimu tempat, yaitu menjadi penguasa di Patemon, jangan engkau menghadap padaku lagi, demikianlah bhisama Sri Aji Bali kepada Rakryan Ularan

Engkau Gde Bandesa Mas, ada bhisamaku padamu, karena kemenanganmu, dengan memotong pucak gopura yang bertahtahkan mas permata, mulai sekarang dan seluruh keturunanmu selanjutnya, terutama kamu mulai saat ini aku beri nama I Pangeran Gde Bandesa Manik Mas, mulai saat ini dan selanjutnya dan ada juga anugrahku padamu, rakyat 100, tanah dengan ukuran 100 dan seketurunanmu nantinya, tidak kena iuran/pajak, bebas dari hukuman mati, ada pengurangan hukuman, kalau dapat hukuman mati, hanya diusir, jika kesalahannya hanya menengah diusir dan dimaafkan; demikian juga engkau Pasek Gelgel ada anugrahku sampai seketurunanmu, sama anugrahku padamu Pasek Gelgel, demikian bhisama Sri Aji Kresna Kapakisan“.

Boleh bertemu dengan keluarga I Gde Bandesa manik Mas, akhirnya mereka membuat rumah di Swecalinggapura, yakni di sebelah utara Jro Kuta Puri Agung, mereka dapat bagian 200 orang, mereka I Gde Bandesa Manik Mas, yang menjadi Bandesa ring Gelgel, atas anugrah Sri Aji Bali, banyak keturunannya, dapat merapalkan mantra-mantra dan menyatu dengan prajuru-prajuru yang lain, terutama atas anugrah Sri Aji, seperti : I Gusti Agung, I Gusti Jelantik, I Gusti Natih, I Gusti Dawuh, I Gusti Lanang Jungutan, I Gusti Tapalare, I Gusti Kaler, I Gusti Lot, I Gusti Pangiasan, I Gusti Salotan, itulah para Arya yang ada di Gelgel dan para Pangeran, seperti :

I Pangeran Pasek Gelgel, I Gde Bandesa Manik Mas, I Gde Dangka, I Gde Dawuh, I Gde Gaduh, I Gde Tangkas Agung Durian, I Gde Kabayan, I Gde Pameregan, I Gde Abiantubuh, dan ada juga Pangeran dari pradhana Sri Aji Kresna Kapakisan, semua mendapatkan anugrah yang sama, boleh saling ambil mengambil, saling sembah, atas anugrah Sri Aji Bali, adapun orang-orang yang dianggap kelahiran utama : I Gde Bala Pulasari, I Gde Bandem, I Gde salahin, I Gde Kamoning, I Gde Suruh, demikian banyaknya keturunan Pangeran, para pembesar, berapat di Kahyangan Bali, di Dasar Bhuwana Gelgel, semua orang-orang Bali.

Marilah kita ceritrakan keturunan I Pangeran Pasek Gelgel, brputra 8 orang, yang sulung Pangeran Gelgel, Pangeran Abiantubuh, Pangeran Selat, Pangeran Sibetan, Pangeran Dangan, Pangeran Batur, Pangeran Anyaran, Pangeran Kubayan, itu semuanya warga Pasek. Ada juga keturunan Bali Mula, yaitu : Pasek Kedisan, Pasek Sukawana, Pasek taro, Pasek Celagi, berasal dari Pasek Kayu Selem, bersama-sama tinggal di Bali Madya.

Ceritrakan I Gde Bandesa Gelgel, berputra 2 orang, yang sulung Bandesa Gelgel, yang ke dua I Gde Bandesa Manikan, semuanya mempunyai keturunan. Pangeran berputra 3 orang, yaitu : I Gde Rantubuh, I Gde Selat, I Gde Samping, demikian keberadaannya. Pangeran Manikan, berputra 2 orang, yaitu : I Gde Manik Mas, I Gde Pasar Badung, semua tinggal di Gelgel, sebagai pembantu pimpinan di Gelgel.

Berganti ceritra sekarang, ceritrakan keturunan I Gde Bandesa Manik Mas, asal-muasalnya dahulu, tatkala mereka dianugrahi oleh Ida danghyang Dwijendra, semua keturunannya I Gde Bandesa Manik Mas, dapat mempelajari dan melaksanakan sastra-satra utama, yakni untuk menjaga kehidupannya dalam keadaan suka maupun duka, hendaknya tetap berpegang teguh pada dharma susila, boleh menjadi Sulinggih, menggunakan Weda Suksma Adyatmika, berpegang teguh kepada tapa brata yoga dan samadhi, selalu ingat melaksanakan pranayama, itulah hah-hal yang utama anugrah Ida Padanda Sakti Wawurawuh, Ida Danghyang Dwijendra, kepada keturunan Ki Pangeran Gde Bandesa Manik Mas, seperti : Weda Sulambanggeni, Pasupati Rancana, Canting Mas, Siwer Mas, Aji Wekasing Pati, hendaknya selalu memegang teguh sekala dan niskala, oleh seketurunan I Gde Bandesa Manik Mas, mulai sekarang dan selanjutnya. Ada lagi anugrah Ida Danghyang Dwijendra Padanda sakti Wawurawuh, kepada Ki Pangeran Manik Mas, menjadi orang utama, melaksanakan Dharma Silayukti dan kemampuan OM-kara, semua pemuka-pemuka orang Bali Madhya, hormat dan bhakti kepadanya sekala niskala kepada mereka I Gde Bandesa manik Mas, karena memahami aksara utama.

Demikian pula halnya terhadap Linggih Bhatara (Pura), mereka astiti bhakti sekala niskala, karena telah memahami pengetahuan utama. Sebagai tanda bhakti kepada Padanda Sakti Wawurawuh Danghyang Dwijendra, lalu Ki Bandesa Manik Mas mempersembahkan anaknya kepada beliau, lalu diambil dijadikan istri, lalu berputra Ida Bhatara Bukcabe. Putra beliau Ida Bukcabe ada 3 orang, yang paling sulung tinggal di desa Mas, bernama Ida Kacangpawos, yang ke dua tinggal di Abiansemal, berada di Geria Tegeh, diiring oleh Arya Dawuh, bernama Ida Bukian dan yang paling bungsu pergi ke Padhang Jerak, bersama rakyat (wadwa) 40 orang, di Tanah Beluangan, pindah dari Beluangan lalu tinggah di Tanah Sanur, bersama Arya Pacung, bernama Ida Kidul, itu sebabnya adanya Brahmana Mas, karena ibunya berasal dari I Gde Bandesa Manik Mas, dari dulu sampai sekarang. Lalu beliau Ida Padanda berkeinginan membuat Pura panyungsungan Ida Sang Brahmana di desa Mas, namanya Pura Pule, di pinggir sebelah timur dan Pura pemujaan Ida Bukcabe, pada akhirnya keturunan keturunan Ki Bandesa Manik Mas, membuat lagi Pura di desa Mas, namanya Pura Bukcabe, dapat dijadikan penyungsungan Brahmana semua dan juga disiwi oleh seketurunan Ki Bandesa Gde Manik Mas, jika ada yang lupa tidak ikut nyungsung di Taman Pule dan di Pura Bukcabe, semoga mereka semuanya, seketurunan I Gde Bandesa Manik Mas, jika berprilaku demikian, semoga mereka tidak menjelma menjadi manusia, tidak mendapatkan keselamatan, demikian kutukan bhisama beliau, hilang kemampuannya, pendek umur, salah jalan, gila, selalu bertengkar dalam keluarganya, cekcok dengan saudara, selalu mendapatkan halangan, demikianlah keturunan I Gde Bandesa manik Mas, sampai kepada seluruh keturunannya, janganlah lupa terhadap Pura itu, anugrah Danghyang Dwijendra Padanda Sakti Wawurawuh, disaksikan oleh alam dan gunung semuanya.

Demikianlah anugrah Ida Padanda sakti Wawurawuh kepada Ki Pangeran I Gde Bandesa manik Mas dan ada lagi anugrah beliau yang lain, jika ada yang meninggal, boleh menggunakan Bade, tumpang 7, magunung pitu, matrilaksana, munggah palih, kapas warna 9, makarang liman, mabhoma makampid/bersayap, mapadau, mapring, rurub kajang utama, mahulon Citya Reka, genap dengan segalamacam upakara, kajang salaka, tekeng patra kemul, demikian upakara kematiannya, segala macam mantra engkau boleh, Nyawa Wedhana, Mapangentas, nista madia uttama, yang uttama berharga 8000, yang madhya berharga 4000, yang nista/kecil 1700, yang paling kecil 1100, itulah yang engkau boleh gunakan.

Inilah yang disebut Manusa Yadnya, tempat mayadnya memakai ancak saji, kalau matatah boleh menggunakan Bale Gadhing, mapulagembal, memakai gender wayang, mapadamelan boleh, hendaknya engkau memahami, barulah dapat disebut I Pangeran Gde Bandesa Manik Mas, dan jika engkau tidak memahami hal itu disebut orang Bali Bisulara, semuanya menjadi gelap dan hancur dalam keluarga, tidak menjumpai keselamatan, segalanya bertengkar, tidak mengenal prilaku, demikianlah keturunan I Pangeran Gde Bandesa Manik Mas, janganlah lupa terhadap nasehatku, dari anugrah beliau Padanda sakti Wawurawuh, yang berstana di Pura Taman Pule.

Prasasti ini selesai ditulis dan kapasupati pada hari Anggara Kliwon Julungwangi, pang. 4 sasih Karo, warsaning loka Windhu Bhuwana Dwaraning Wang, 1930 Saka, rah o, tenggek 3, windhu 9, yuga 1.

Selesai.

Copas

SEJARAH PURA MELANTING SINGARAJA

PURA MELANTING

Pura Melanting terletak di desa Banyupoh, Kec. Grokgak, Kab. Buleleng, termasuk kawasan Bali Utara. Sekitar 50 km sebelah Barat kota Singaraja. Keberadaan pura ini Melanting tidak hanya sebagai tempat persembahyangan bagi umat Hindu terutama para pedagang, tetapi juga wisatawan, karena pura di Bali ini tampil cantik dan indah, nuansanya tenang karena berada di tengah hutan di kaki bukit Pemuteran. Memiliki kisah atau sejarah yang cukup unik dan penuh mistis, berhubungan dengan perjalanan pendeta sakti dari tanah Jawa bernama Dang Hyang Nirartha.


Memasuki kawasan pura Melanting anda harus melalui jalan yang sedikit sempit perumahan penduduk dan hutan kecil, namun mobil ataupun bus pariwisata bisa masuk. Namun sampai di lokasi suasananya sangat lega dan damai, areal parkir luas dan pura Melanting terlihat berdiri megah dan cantik di ketinggian, menapaki anak tangga, melewati gapura anda disambut dua patung naga besar menghiasi gerbang utama pura. Sejumlah komplek bangunan pura menjadi tempat persembahyangan sebelum menuju ke areal pura utama. Bangunan pura Melanting ini memang telah didesain ulang oleh arsitek terkemuka yaitu Ida Bagus Tugur.
Karena lokasi dari pura Melanting ini di dataran tinggi, maka saat anda berada di areal pura, anda bisa menyaksikan keindahan alam sekitarnya, pemandangan bukit hijau yang mengelilingi kawasan ini serta dari kejauhan terlihat birunya laut Jawa, ditambah suasananya yang tenang dan jauh dari keramaian, memang cocok bagi mereka yang ingin melakukan meditasi untuk menenangkan jiwa dan pikiran, pujawali atau odalan di Pura Melanting ini bertepatan dengan Purnama sasih Kapat sesuai kalender Isaka. Pura tampil cantik di lingkungan alam yang masih asri memang sangat ideal menjadi salah satu objek wisata andalan di Bali utara.

Sejarah Pura Melanting Di Buleleng

Pura Melanting adalah salah satu pura Kahyangan Jagat di Bali, menempati posisi penting dalam deretan nama-nama pura yang ada di Bali, sebagai masyarakat yang religius dan percaya dengan adanya satu Tuhan yaitu Ida Sang Hyang Widi Wasa, namun manifestasi-Nya dengan banyak nama sesuai fungsi dan sifatnya. Seperti halnya dengan Pura Melanting ini, merupakan pura yang bersifat fungsional karena sebagai tempat untuk memuja Ida Bhatari Melanting atau Dewi Melanting memohon kemakmuran, kesuburan, keselamatan dan agar dilancarkan dalam usaha dagang. Pura Melanting sangat berkaitan dengan usaha dagang agar dilancarkan, itulah sebabnya setiap pasar didirikan pura Melanting. Pemujaan Dewi Melanting di Pura Melanting bisa disejajarkan dengan Bhatara Rambut Sedana atau Dewa Kwera sebagai dewanya uang.

Pura Melanting di Kabupaten Buleleleng, lokasinya cukup berdekatan dengan Pura Pulaki termasuk juga Pura Pabean, Ida Mutering Jagat di Pemuteran dan Kerta Kawat, sejarah berdirinya pura-pura tersebut memiliki kaitan erat satu dengan lainnya. Keberadaan Pura Melanting dan pura pesanakan lainnya berkaitan erat dengan perjalanan Pendeta suci Dang Hyang Nirartha dari tanah Jawa ke Bali dalam menyebarkan dan menanamkan nilai-nilai luhur agama Hindu kepada masyarakat Bali. Kedatangan Dang Hyang Nirartha ke Bali tidak lepas karena runtuhnya kerajaan Majapahit dan masuknya pengaruh Islam di tanah Jawa. Perjalanan tersebut mengajak keluarga seperti istri dan anak-anaknya.

Dang Hyang Nirartha dikenal juga dengan gelar Dang Hyang Dwijendra dan Pedanda Sakti Wawu Rauh, perjalanan beliau dari Jawa menuju Bali tentu sangat jauh, sehingga istri beliau Danghyang Biyang Patni Keniten yang saat itu sedang hamil tua merasa kelelahan, persendian kakinya bengkak dan ngilu, tak kuasa rasanya mengangkat kaki untuk melanjutkan perjalanan ke arah Timur yang masih jauh. Karena hal tersebut sang Pendeta merasa bimbang, apakah menemani istri sampai melahirkan atau melanjutkan perjalanan suci tersebut.
Akhirnya Dang Hyang Nirartha memtuskan untuk melanjutkan perjalanan dan meninggalkan belahan jiwanya di desa tempat tersebut ditemani salah satu putrinya yang bernama Dyah Ayu Swabawa serta ditemani oleh sejumlah pengikutnya, sedangkan putra dan putri lainnya yang masih kuat berjalan kaki diajak serta melanjutkan perjalanan, dan kelak seandainya Dang Hyang Nirartha telah sampai ke tempat tujuan akan diutus pengikutnya untuk menjemput istri beserta anak-anaknya untuk bergabung kembali dengan keluarga besar mereka.
Danghyang Biyang Patni Keniten, ditemani oleh pengikutnya dan seorang anak perempuannya, beristirahat sampai sehat benar, kemudian membuka lahan untuk tempat tinggal berladang dan bersawah. Dengan berbagai ilmu kehidupan, ilmu agama dan kesaktiannya Peranda istri dengan penuh kearifan mengajarkan tentang ilmu kehidupan pada warga sekitarnya, lama-kelamaan semakin dikenal dan memiliki pengikut ribuan orang dan menjadi ibu seluruh masyarakat di sini. Beliau akhirnya melahirkan seorang anak laki-laki bernama Bagus Bajra, parasnya rupawan dan menawan.
Anak-anak Danghyang Biyang Patni Keniten tumbuh semakin besar begitu juga Dyah Ayu Swabawa menjadi putri tumbuh cerdas, penuh pesona, bijaksana memiliki wibawa seperti ayahandanya bahkan terlihat lebih dewasa daripada umurnya. Dyah Ayu Swabawa memiliki keahlian dalam ilmu dagang, sangat lihai memikat para pembeli atau memilih barang-barang yang diinginkan oleh pembeli, sehingga para pembeli selalu setia untuk kembali lagi. Kawasan tempat tinggalnya menjadi tempat yang ramai dikunjungi oleh para saudagar sehingga menjadi pusat perniagaan karena masyarakat memang senang berbelanja di tempat tersebut.

Sudah sekian lama menunggu, harapan Danghyang Biyang Patni Keniten beserta keluarganya akan kedatangan utusan dari Dang Hyang Nirartha untuk menjemputnya tidak kunjung tiba, bahkan Dyah Ayu Swabawa hampir setiap hari memanjat pohon mengawasi dari ketinggian sambil berayun-ayun (bahasa Bali ngelanting) menantikan jikalau ada utusan dari ayahandanya. Warga sekitar sangat sayang dengan Dyah Ayu, karena kebiasannya tersebut memanjat dan berayun di pohon, orang-orang memberi sebutan hormat dengan nama Dyah Ayu Melanting dari nama Dyah Ayu sejarah nama pura tersebut, sedangkan ibundanya yang arif dan bijaksana suka memberi nasehat diberi nama Mpu Alaki atau seorang arif (mpu) yang sudah memiliki suami (alaki) berstana di Pura Pulaki.
Waktu terus berjalan utusan dari Dang Hyang Nirartha tidak juga datang menjemput, tidak ada kabar berita, peranda istri sangat menyesalkan perpisahan masa lalu tersebut, peranda istri merasa putus asa, beliau menangis di tempat pemujaan sambil memohon kepada para dewa agar dirinya dan seluruh warga abadi, tidak termakan usia. Karena kekusukannya akhirnya Dewata memberkati namun dalam satu syarat. Peranda istri atau Mpu Alaki akan dibebaskan dari perputaran sang kala, bebas dari penuaan dan kematian tetapi tidak bisa dilihat oleh orang lain. Itu untuk menjaga umat atau orang lain iri melihat orang abadi. Demi kasih sayang dan kesetiaan penantian panjang tersebut dibayar dengan keabadian yang tidak terlihat.
Mengetahui hilangnya Danghyang Biyang Patni Keniten atau peranda istri, Dang Hyang Nirartha mengira bahwa peranda istri, anak-anak dan pengikutnya moksa. Dan baru disadarinya tatkala Dang Hyang Nirartha moksa di ujung selatan Bali di pura Uluwatu, kemudian akhirnya disusul oleh Danghyang Patni Keniten tempat moksa peranda istri ini bernama pura Pulaki sesuai gelar beliau Mpu Alaki, sedangkan sang putri Dya Subawa Melanting distanakan di pura Melanting, dan putanya Bagus Bajra distanakan di Pura Kerta Kawat sebagai pangeran Mentang Yuda sebagai sumber keadilan dalam memutuskan perkara, sedangkan pengikutnya sebagai wong samar yang terbebas dari perputaran waktu.
Sumber (tour bali)